“Moderasi beragama bukanlah bentuk pendangkalan ajaran agama, melainkan cara mendalaminya hingga membawa kita pada harmoni dan kedamaian.” Pesan kuat ini kembali ditegaskan oleh Prof. Dhani, Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kementerian Agama RI dalam sesi Pelatihan Penguatan Penggerak Moderasi Beragama (PPMB) pada Selasa siang, 29 April 2025, pukul 13.00 WIB.
Kegiatan ini menyasar para peserta dari wilayah kerja Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota Blitar, Trenggalek, dan Tulungagung yang hadir secara virtual melalui Zoom Meeting. Dalam penyampaian materinya, Prof. Dhani mengajak para peserta untuk menggali lebih dalam makna sejati dari moderasi beragama, bukan sebagai bentuk kompromi terhadap ajaran, melainkan sebagai bentuk pemahaman yang lebih utuh dan manusiawi.
“Moderasi bukan berarti mengencerkan ajaran, tapi justru memperkuatnya dengan cinta kasih, toleransi, dan keterbukaan terhadap perbedaan,” tegas Prof. Dhani.
Ia menegaskan bahwa ajaran agama sejatinya diturunkan untuk menciptakan kedamaian, bukan menyulut konflik. Oleh sebab itu, pemahaman agama yang benar harus ditanamkan dengan pendekatan yang damai dan penuh hikmah. Dalam konteks ini, kekerasan dalam menyampaikan ajaran agama tidak bisa dibenarkan. Perbedaan pandangan harus direspons dengan dialog dan musyawarah, bukan konfrontasi.
Prof. Dhani juga mengingatkan pentingnya menjaga budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Sebagai contoh, ia menyinggung sarung dan kopiah sebagai simbol khas santri Indonesia yang merupakan hasil adaptasi budaya lokal dan telah menjadi bagian dari identitas Islam Nusantara. “Kita tidak harus menjadi Arab untuk menjadi Muslim. Islam bisa hadir dengan wajah Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Dhani mengajak peserta untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam berdakwah. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan ajaran Islam dengan kelembutan, kasih sayang, dan keteladanan akhlak, bukan dengan kekerasan atau pemaksaan.
“Kalau Nabi menggunakan kekerasan, mungkin Islam tidak akan pernah menyebar luas. Beliau menebar senyum, bukan ancaman,” tambahnya.
Salah satu poin penting lainnya adalah keterkaitan antara sikap moderat dan cinta tanah air. Prof. Dhani menekankan bahwa komitmen kebangsaan adalah bagian tak terpisahkan dari praktik keagamaan yang moderat. Menjunjung tinggi konstitusi, Pancasila, dan UUD 1945 merupakan bentuk tanggung jawab spiritual sekaligus sosial bagi umat beragama.
“Kita tidak boleh membenturkan agama dengan negara. Justru melalui agama yang moderat, kita memperkuat negara dan merawat kerukunan,” tegasnya.
Prof. Dhani pun menyampaikan bahwa moderasi beragama sejatinya telah lama hadir dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia. Ia menyebutkan berbagai contoh konkret sebagai wujud nyata praktik baik moderasi beragama. Islam memang dianut mayoritas penduduk, tetapi Indonesia bukanlah negara Islam. Di berbagai tempat, tempat ibadah dari agama berbeda berdiri berdampingan, menunjukkan toleransi dalam keberagaman. Arsitektur rumah ibadah pun kaya akan akulturasi budaya lokal, dan simbol-simbol keagamaan mencerminkan nilai-nilai yang dibumikan secara kontekstual.
Bahkan dari aspek kebangsaan, bahasa Jawa yang merupakan bahasa mayoritas tidak dijadikan bahasa nasional, melainkan bahasa Melayu (yang secara populasi lebih kecil) yang diadopsi menjadi Bahasa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun umat Islam adalah mayoritas, hari libur nasional ditetapkan pada hari Minggu, bukan Jumat. Lebih menarik lagi, kata “Minggu” tetap digunakan di tengah dominasi istilah Arab dalam penamaan hari (Senin hingga Sabtu). Kendati demikian, hari Jumat tetap dihormati dengan memberikan waktu istirahat yang lebih panjang dan jam kerja yang disesuaikan. Semua ini, menurut Prof. Dhani, adalah cermin nyata dari wajah moderasi beragama Indonesia yang inklusif dan berkeadilan.
Dengan penyampaian yang hangat, bernas, dan membumi, Prof. Dhani menyemai semangat baru di hati para peserta dari Blitar, Trenggalek, dan Tulungagung, bahwa moderasi bukan sekadar wacana, melainkan jalan hidup dan aksi nyata untuk mewujudkan masyarakat yang rukun, maslahat, dan cerdas—selaras dengan visi Kementerian Agama menuju Indonesia Emas 2045. (a)