


Jakarta (Kemenag) — Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) Tahun 2025 mencapai angka 77,89, tertinggi sejak survei pertama dilakukan pada 2015. Capaian ini menempatkan kerukunan umat beragama di Indonesia dalam kategori tinggi, sekaligus mencerminkan kondisi hubungan antarumat beragama yang semakin matang dan konstruktif.
Hasil tersebut diperoleh dari Survei Evaluasi Kerukunan Umat Beragama 2025 yang dilaksanakan Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (P3M) Universitas Indonesia (UI). Rilis hasil survei disampaikan dalam kegiatan Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026 (Repro) bertema Toward a Loving Future Ummah di Jakarta, Selasa (22/12/2025).
Kegiatan tersebut dihadiri Menteri Agama Nasaruddin Umar, Sekretaris Jenderal Kemenag Kamaruddin Amin, para pejabat Eselon I dan II, staf khusus dan tenaga ahli Menteri Agama, pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), serta Kepala Kanwil Kemenag Provinsi.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa capaian Indeks Kerukunan Umat Beragama tidak boleh dimaknai sebatas statistik, melainkan sebagai panggilan moral bagi seluruh pemangku kepentingan keagamaan.
“Agama tidak boleh berhenti pada simbol dan ritual. Ia harus menjadi penuntun etis—kompas moral—yang memberi arah di tengah disrupsi sosial, teknologi, dan budaya,” tegas Menag.
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kemenag, Muhammad Ali Ramdhani, menjelaskan bahwa kerukunan umat beragama dalam survei ini didefinisikan sebagai kondisi hubungan umat beragama yang toleran, setara dalam menjalankan ajaran agama, serta berkeberasamaan dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Berdasarkan pengukuran nasional, Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2025 tercatat sebesar 77,89 dan berada dalam kategori tinggi. Ini merupakan skor tertinggi dalam rentang 11 tahun terakhir,” ujar Ali Ramdhani.
Survei ini menggunakan tiga indikator utama, yaitu toleransi, kesetaraan, dan kebersamaan. Dimensi toleransi mencatat skor tertinggi sebesar 88,82, disusul dimensi kesetaraan 79,35, dan dimensi kebersamaan 65,49. Meski seluruh indikator berada pada kategori tinggi, aspek kebersamaan masih memerlukan penguatan, khususnya pada partisipasi lintas komunitas dalam kehidupan sosial.
Secara metodologis, survei dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstandar kepada 13.836 responden. Responden dipilih dengan metode Multistage Random Sampling with Quota untuk memastikan keterwakilan wilayah dan keseimbangan gender. Survei dilaksanakan pada periode September–November 2025 dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error ±0,83 persen.
Jika ditinjau secara historis, indeks KUB nasional menunjukkan tren positif. Sejak 2015 hingga 2025, nilai indeks bergerak dari 75,36 (2015) hingga mencapai puncaknya pada tahun ini dengan skor 77,89.
Selain IKUB, Kementerian Agama juga merilis Indeks Kesalehan Umat Beragama (IKsUB) 2025 dengan skor 84,61, masuk kategori sangat tinggi. Indeks ini diukur melalui dua dimensi, yakni sosial dan individual.
Dimensi sosial mencakup solidaritas, relasi antar manusia, etika sosial, kepedulian lingkungan, ketaatan pada pemerintah, etika digital, dan pelestarian budaya, dengan skor 82,00. Sementara dimensi individual meliputi ideologi, ritual keagamaan, pengalaman spiritual, dan kecerdasan emosional, dengan skor 87,21.
IKsUB menunjukkan tren peningkatan sejak 2020 dan terus menguat hingga tahun 2025, menandakan bahwa kesalehan umat beragama semakin terinternalisasi baik dalam kehidupan personal maupun sosial.
Muhammad Ali Ramdhani menegaskan bahwa kegiatan Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026 menjadi momentum strategis untuk memastikan seluruh kebijakan dan program Kementerian Agama disusun berbasis data.
“Repro merupakan agenda tahunan BMBPSDM di penghujung tahun. Sesuai arahan Bapak Menteri Agama, ke depan seluruh program Kemenag harus disusun berdasarkan data,” ujarnya.
Selain IKUB dan IKsUB, Kementerian Agama juga menggunakan berbagai indeks lain sebagai instrumen evaluasi kebijakan, antara lain Indeks Moderasi Beragama, Indeks Layanan Keagamaan, Indeks Keberagaman Siswa, Indeks Keberagaman Mahasiswa, serta Indeks Literasi Kitab Suci.
“Melalui indeks-indeks ini, kita menakar sejauh mana kebijakan dan layanan keagamaan benar-benar berdampak bagi umat dan masyarakat luas,” pungkasnya.
Publish: Alya