
Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kementerian Agama, Ahmad Zainul Hamdi, menyampaikan pandangan tentang keluasan dan keberanian pemikiran Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurutnya, pemikiran Gus Dur tidak lahir semata dari pendidikan Islam, tetapi juga terbuka terhadap berbagai sumber pengetahuan.
“Kalau Gus Dur bisa sebegitu bernas pikirannya dan berani konsisten antara pikiran dan tindakan, itu bukan semata karena belajar Islamic studies,” ujar Ahmad Zainul Hamdi dalam kegiatan Bedah Buku “Oase Gus Dur: Menyelami Pemikiran, Kearifan, dan Keteladanan Sang Guru Bangsa” di Makara Art Center Universitas Indonesia.
Ahmad yang akrab disapa Inung ini mencontohkan, keluasan wawasan Gus Dur terlihat dari ketertarikannya pada karya lintas budaya, seperti novel My Name Is Asher Lev karya seorang sastrawan asal Amerika. Ia menilai, Gus Dur menjadi sosok yang menandai titik balik sejarah Nahdlatul Ulama (NU).
“Silakan kaji NU sebelum dan sesudah Gus Dur. Di era beliau, kita diperkenalkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Itu semua mengubah sejarah NU,” tegasnya.
Menurutnya, perubahan besar yang dibawa Gus Dur bukan pada hal material, melainkan pada kesadaran baru dalam berislam. “Secara material tidak banyak berubah, tetapi kita mulai memahami bahwa berislam bukan hanya soal akhirat, melainkan juga soal kemanusiaan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, menyampaikan bahwa gagasan Gus Dur memiliki keselarasan dengan pemikiran Daisaku Ikeda, pemimpin besar Soka Gakkai Internasional.
“Sebagai pemimpin, kita harus bergerak berdasarkan kepentingan mereka yang kita pimpin, bukan menggunakan yang dipimpin untuk kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Alissa juga menegaskan pentingnya moderasi beragama sebagai nilai universal yang mempersatukan pemikiran Gus Dur dan Daisaku Ikeda. “Keduanya menunjukkan bagaimana beragama secara moderat diwujudkan, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam membangun kemaslahatan bersama,” jelasnya.
Menurut Alissa, moderasi beragama tidak berhenti pada tataran ritual, melainkan menjadi dasar dalam membangun kehidupan sosial yang berkeadaban. “Kita membutuhkan umat beragama yang mampu menjadikan nilai agama sebagai kekuatan untuk membangun kebaikan bersama, seperti yang dicontohkan oleh Daisaku Ikeda dan Gus Dur,” tegasnya.
Kegiatan Bedah Buku “Oase Gus Dur: Menyelami Pemikiran, Kearifan, dan Keteladanan Sang Guru Bangsa” merupakan kolaborasi antara Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta, BMBPSDM Kementerian Agama, dan Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia.
Acara yang dihadiri lebih dari 250 peserta ini menjadi bagian dari rangkaian Pameran Dialog Peradaban 2025 dengan tema “Moderasi Beragama sebagai Aktualisasi Pemikiran Gus Dur Membangun Peradaban.”