Surabaya, 12 Juli 2025 — Guru yang hebat tidak hanya diukur dari seberapa canggih metode mengajarnya, tetapi dari seberapa dalam ia menghidupi nilai-nilai yang membentuk jati dirinya sebagai pendidik. Itulah pesan utama yang disampaikan oleh Kepala Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya, Dr. H. Japar, M.Pd., saat memberikan wejangan dalam pelatihan metodologi pembelajaran di MTsN 3 Surabaya, Sabtu (12/7). Pelatihan ini merupakan implementasi kerja sama antara BDK Surabaya dan MTsN 3, dengan tema “Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Pendekatan Deep Learning”, yang bertujuan memperkuat kapasitas guru dalam menghadirkan pembelajaran yang lebih bernilai dan berdampak.
Dalam suasana yang reflektif, Japar mengajak para guru untuk tidak terjebak hanya pada urusan perangkat ajar, teknik, atau asesmen. Ia menegaskan bahwa keberhasilan kurikulum—termasuk kurikulum berbasis cinta—bergantung pada kualitas pribadi guru yang menjalankannya. Sebab pada hakikatnya, pendidikan yang bermakna tidak cukup dibangun dengan strategi, tetapi juga dengan keteladanan dan kekuatan nilai dari sosok yang menyampaikannya.
Japar menekankan bahwa dalam upaya mewujudkan visi Kementerian Agama: “Terwujudnya masyarakat yang cerdas dan maslahat menuju Indonesia Emas 2045”, peran guru sangat sentral. Untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan maslahat, guru harus hadir bukan hanya sebagai pengajar, melainkan sebagai teladan nilai. Nilai-nilai dasar SDM Kementerian Agama, seperti keimanan, integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan keteladanan, menjadi pondasi karakter pendidik. Nilai-nilai inilah yang kemudian diwujudkan secara operasional dalam lima budaya kerja ASN Kementerian Agama.
Ia menjelaskan bahwa integritas menjadi nilai utama yang harus melekat dalam diri guru—artinya memiliki kejujuran dan keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Seorang guru yang memiliki integritas akan menjadi figur yang dihormati dan dipercaya oleh peserta didik. Profesionalitas diperlukan agar guru tidak berhenti belajar, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan senantiasa memberikan yang terbaik dalam proses pembelajaran. Kemudian, inovasi dibutuhkan agar guru dapat mengembangkan pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan konteks zaman.
Tak kalah penting, guru juga harus memiliki tanggung jawab, yakni menyadari bahwa mendidik adalah amanah besar yang tidak bisa dijalani setengah hati. Dan terakhir, keteladanan menjadi nilai puncak yang melekat dalam setiap tindakan guru. Karena dalam pendidikan, murid lebih banyak belajar dari sikap dan perilaku gurunya daripada dari apa yang tertulis di papan tulis.
Kelima budaya kerja ini, menurut Japar, bukan hanya menjadi pedoman ASN secara administratif, tetapi merupakan kompas moral dan profesional yang harus ditanamkan dalam keseharian guru, khususnya di lingkungan madrasah. Hanya dengan nilai-nilai itulah kurikulum berbasis cinta dan pendekatan deep learning akan benar-benar hidup dan berdampak dalam kelas.
Ia mengingatkan bahwa pembelajaran yang hanya berfokus pada hasil tidak cukup untuk membentuk generasi emas. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran yang menyentuh hati, membuka pikiran, dan membangun karakter. Dan itu semua bermula dari guru yang hidup dalam nilai, mengajar dengan cinta, serta membimbing dengan kesungguhan.
Pelatihan ini menjadi ruang penting untuk menyegarkan kembali orientasi profesi guru. Melalui kolaborasi antara BDK Surabaya dan MTsN 3 Surabaya, diharapkan terbentuk model guru madrasah yang tidak hanya unggul dalam teknik mengajar, tetapi juga kuat dalam karakter dan etos kerja. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sukses bukanlah yang hanya mencetak lulusan, tetapi yang mampu menghadirkan peradaban. Dan itu hanya mungkin jika guru menjadi agen nilai, sejalan dengan misi besar Kementerian Agama.
Penulis: Dewi