Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin adalah tokoh nasional yang dikenal sebagai pelopor dan penggerak utama moderasi beragama di Indonesia. Saat menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia periode 2014–2019, ia merumuskan dan mengarusutamakan konsep moderasi beragama sebagai visi strategis Kementerian Agama. Pendekatan ini menjadi pijakan utama dalam menjaga kerukunan umat beragama di tengah kehidupan masyarakat yang beragam.
Bagi Lukman, moderasi beragama bukanlah upaya untuk memoderasi ajaran agama itu sendiri, melainkan cara umat dalam beragama agar tidak bersikap ekstrem, melainkan tetap adil, berimbang, dan inklusif. Ia menyebut bahwa moderasi beragama adalah proses dinamis untuk membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menolak kekerasan, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan serta budaya lokal. Jalan tengah inilah yang menurutnya menjadi jembatan antara ajaran agama dan kearifan lokal tanpa saling menegasikan.
Selepas dari jabatan menteri, Lukman tetap aktif menyuarakan pentingnya moderasi beragama melalui berbagai forum akademik, kegiatan sosial keagamaan, hingga media sosial. Atas kontribusinya, ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Pengkajian Islam dengan peminatan Moderasi Beragama, sebagai bentuk penghargaan terhadap dedikasinya dalam memperkuat harmoni dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan menyampaikan materi di hadapan 33 peserta pelatihan moderasi beragama bagi ASN di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya, pada Kamis, (22/5/25), Lukman kembali menegaskan esensi dari moderasi. Ia menyatakan bahwa kitab suci adalah teks, dan teks bersifat multitafsir karena merupakan bahasa Tuhan. Oleh sebab itu, beragama bukan hanya tentang memahami teks, melainkan juga bagaimana mengamalkannya dalam konteks kehidupan nyata.
Lukman menekankan bahwa pemahaman keagamaan sangat beragam, bahkan dalam satu agama yang sama. Kitab suci bukan satu-satunya rujukan dalam beragama, tetapi juga harus memperhatikan ucapan, tindakan, dan perbuatan para tokoh suci yang juga termanifestasi dalam bentuk teks. Pemaknaan semata pada teks, tanpa konteks, dapat memunculkan ekstremisme—sikap berlebih-lebihan yang melampaui batas.
Ia menjelaskan bahwa moderasi dalam beragama bukan tentang agamanya, tetapi tentang cara kita memahami dan menghayati ajaran agama. Moderasi beragama adalah proses menjadi moderat (wasath), yang tidak hanya berpegang pada teks tapi juga memahami konteksnya. Sebab itu, beragama yang terlalu bebas pun tidak dapat dibenarkan.
Lebih lanjut, Lukman menjelaskan bahwa ajaran agama terbagi menjadi dua: ajaran universal yang menjadi inti dan diyakini secara umum oleh umat manusia, serta ajaran partikular yang bersifat cabang. Ukuran ekstremisme terjadi saat pemahaman atas ajaran partikular justru mengingkari nilai-nilai universal. Oleh karena itu, moderasi beragama harus berfokus pada ajaran yang bersifat universal, dan dihiasi dengan sikap toleransi. “Jangan pernah punya keinginan untuk menyeragamkan keragaman,” tegasnya.
Dengan pemikiran dan kiprahnya yang konsisten, Lukman Hakim Saifuddin layak disebut sebagai arsitek moderasi beragama Indonesia—tokoh yang terus mengajak bangsa ini untuk beragama dengan penuh kesadaran, kedalaman, dan penghormatan terhadap perbedaan. (a)