Surabaya, 30 April 2025 — Di tengah meningkatnya tantangan intoleransi, perundungan, dan dehumanisasi dalam ruang-ruang pendidikan dan sosial, Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya mengambil langkah progresif dengan menggelar Diseminasi Widyaiswara bertajuk “Kurikulum Cinta”. Kegiatan ini menghadirkan Dr. Ani Nur Hidayati, M.Pd. sebagai narasumber dan dimoderatori oleh Dr. Ninik Supriyati, M.Pd. Acara tersebut diikuti oleh seluruh widyaiswara dan beberapa pegawai di lingkungan BDK Surabaya.
Dalam forum tersebut, Dr. Ani memaparkan dengan penuh semangat pentingnya kehadiran Kurikulum Cinta sebagai pendekatan transformatif dalam pendidikan Indonesia. Ia menegaskan bahwa kurikulum ini bukan sekadar respons terhadap gejala sosial seperti intoleransi atau perundungan, melainkan sebuah ikhtiar serius untuk mengembalikan ruh kemanusiaan dalam proses belajar-mengajar.
“Kurikulum berbasis cinta ini lahir dari keprihatinan akan meningkatnya kasus dehumanisasi—baik dalam bentuk intoleransi maupun kekerasan psikologis yang kini banyak terjadi secara online dan offline,” ungkap Dr. Ani. “Dalam konteks ini, Menteri Agama RI menegaskan bahwa ‘humanity is only one’. Maka, kurikulum cinta hadir sebagai jawaban—sebagai ruang hidup bagi nilai-nilai kasih sayang, empati, dan penghormatan terhadap sesama.”
Bukan Kurikulum Baru, Melainkan Cara Baru Mendidik
Berbeda dari persepsi umum mengenai kurikulum yang identik dengan perubahan struktur materi, Kurikulum Cinta justru tidak menawarkan penambahan atau penggantian materi ajar. Sebaliknya, kurikulum ini bekerja dalam dimensi nilai—menghidupkan semangat cinta dalam setiap aspek pembelajaran, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
“Ruh dari Kurikulum Cinta ini bukan terletak pada silabus atau modul yang ditulis ulang, melainkan pada bagaimana nilai cinta diinternalisasikan secara mendalam dalam proses pembelajaran,” jelas Dr. Ani. “Guru dan pendidik tidak hanya menjadi pengajar, tetapi menjadi penyalur kasih, menanamkan nilai yang membentuk karakter siswa.”
Nilai-nilai yang ditanamkan meliputi cinta kepada Allah sebagai sumber spiritualitas, cinta kepada Rasul sebagai teladan akhlak, cinta kepada diri sendiri sebagai bentuk penerimaan dan penghargaan diri, cinta kepada sesama manusia sebagai pondasi sosial, cinta kepada lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab moral, serta cinta kepada bangsa dan negara sebagai ekspresi kebangsaan yang utuh.
Langkah Strategis Menuju Indonesia Emas 2045
Penerapan Kurikulum Cinta juga diletakkan dalam bingkai visi jangka panjang: Indonesia Emas 2045. Dalam narasi ini, pendidikan tidak hanya dilihat sebagai sarana transfer ilmu, tetapi sebagai alat pembentuk peradaban.
“Kalau kita ingin menyambut abad kedua kemerdekaan dengan generasi emas yang berjiwa besar, maka hari ini kita harus mulai dari pendidikan yang berlandaskan cinta,” tegas Dr. Ani.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan visi tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan dunia pendidikan dalam melahirkan manusia-manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih, toleran, dan mampu merangkul perbedaan sebagai kekuatan bangsa.
Antusiasme Widyaiswara dan Seruan untuk Menjadi Agen Nilai
Kegiatan ini juga menjadi momen reflektif bagi para widyaiswara yang hadir. Mereka diajak untuk melihat kembali peran strategis mereka sebagai pembawa ruh pendidikan, bukan sekadar penyampai materi.
Moderator acara, Dr. Ninik Supriyati, M.Pd., menyampaikan bahwa keberadaan Kurikulum Cinta membutuhkan komitmen kolektif. Ia menekankan bahwa transformasi nilai hanya bisa dicapai apabila setiap pendidik menjadi agen yang menghidupkan cinta dalam praktik sehari-hari.
“Kita sebagai pendidik harus menjadi mercusuar nilai. Tidak cukup hanya mengajar, kita harus menghadirkan keteladanan, menyentuh hati, dan menciptakan ruang belajar yang penuh kasih agar peserta pelatihan (guru) juga melakukannya kepada siswa,” katanya.
Dengan Kurikulum Cinta, BDK Surabaya bukan hanya menawarkan wacana baru dalam dunia pendidikan, melainkan membangun fondasi moral untuk masa depan bangsa. Di tengah dunia yang makin keras dan terpolarisasi, cinta—yang selama ini dianggap abstrak—diberi ruang dan makna dalam pendidikan, agar menjadi kekuatan nyata membentuk manusia seutuhnya. (m)