ASN ideal tidak lahir begitu saja. Ia terbentuk melalui proses panjang yang mengasah keahlian, membentuk karakter, dan menguji dedikasi. Menurut Rohmat Mulyana Sapdi, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI, ASN yang ideal adalah ASN yang profesional—mereka yang menguasai pekerjaannya, berintegritas, dan mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, tepat, dan transparan.
“Profesional berarti bekerja dengan keahlian, taat asas, dan mampu hidup dari pekerjaannya. ASN yang ideal akan menjadi wajah negara yang dipercaya rakyat,” ujarnya saat memberikan pembekalan kepada peserta Latsar CPNS Kemenag yang diselenggarakan oleh BDK Surabaya pada Selasa, 12/8/25).
Profesionalisme seorang ASN, lanjutnya, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis, tetapi juga oleh bagaimana mereka merepresentasikan diri. Kerapian penampilan yang selaras dengan wibawa profesi menjadi bagian penting dari citra seorang ASN. Penguasaan teknologi sebagai penunjang kinerja, disertai kefasihan berbahasa asing, menjadi modal penting bagi ASN guna memperluas cakrawala dan memperkuat komunikasi lintas budaya. “Profesionalisme bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi juga bagaimana seseorang membawa dirinya dengan kredibel di mata publik,” tambahnya.
Lebih jauh, Prof. Rohmat memaparkan bahwa profesionalisme ASN terbentuk melalui empat dimensi penting yang saling melengkapi. Pertama adalah dimensi kepribadian, yang menjadi fondasi moral setiap ASN. Di dalamnya terkandung integritas sebagai kompas etis, kedisiplinan yang menjaga keteraturan, serta etos kerja yang mendorong kinerja optimal meski menghadapi tantangan.
Selanjutnya, dimensi keilmuan hadir sebagai penopang kompetensi. Penguasaan pengetahuan yang relevan dengan bidang tugas memungkinkan ASN merumuskan solusi yang tepat, berbasis data, dan sesuai perkembangan zaman.
Kemudian, dimensi keterampilan berperan sebagai penggerak produktivitas. Penguasaan kemampuan teknis yang solid, berpadu dengan inovasi yang adaptif, menjadi pembeda antara ASN yang hanya menjalankan tugas dan ASN yang mampu menciptakan nilai tambah bagi institusi.
Terakhir, dimensi sosial melengkapi keseluruhan proses pembentukan profesionalisme. Kecakapan berkomunikasi dan kemampuan membangun kerja sama lintas pihak memastikan koordinasi yang harmonis, memperkuat jejaring kerja, dan menghadirkan pelayanan publik yang inklusif serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“ASN bukan sekadar pelaksana administrasi. Mereka adalah garda terdepan pelayanan publik. Masyarakat menilai negara dari bagaimana ASN bekerja dan bersikap,” tegasnya. Dengan pembentukan yang terencana dan konsisten, ASN dapat mewujudkan profesionalisme yang tidak hanya bermanfaat bagi instansi, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Penulis: Dewi