Oleh: Aziz Fuadi
(ASN BDK Surabaya)
Kata komitmen seringkali kita dengar. Komitmen menjadi kata yang begitu enak didengar tetapi sulit dilaksanakan. Komitmen menunjukkan keinginan dan keyakinan kuat dari seseorang untuk memenuhi apa yang telah disepakatinya, baik dengan diri sendiri, hal tertentu, orang lain ataupun dengan sebuah organisasi.
Orang begitu mudahnya bilang komitmen, namun ketika dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan ia berperilaku komit, bisa jadi ia akan berperilaku sebaliknya. Seakan memberi pertanda bahwa komitmen hanya berlaku untuk orang lain, sehingga menuntut orang lain untuk berkomitmen sedangkan ia sendiri bisa jadi tidak berkomitmen. Di sisi lain, tak sedikit juga orang berkomitmen kuat dalam situasi apapun. Perilakunya akan menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen yang kuat.
Di samping pengaruh karakter dari individu, komitmen yang kuat biasanya timbul atas kesadaran diri seseorang. Komitmen yang muncul karena adanya unsur keterpaksaan, biasanya akan cepat melemah ketika tidak adanya aturan atau kondisi yang memaksa seseorang untuk berkomitmen. Namun, ketika kesadaran diri menjadi penyebab munculnya komitmen, maka yang tampak adalah kekuatan komitmen pada individu.
Ketika komitmen dikaitkan dalam konteks organisasi, maka terdapat istilah komitmen organisasional yang menunjukkan sikap yang terikat dan keinginan kuat dari seseorang untuk mendukung dan secara bersama mencapai tujuan organisasi
Allen dan Meyer (1993) membagi komitmen menjadi tiga yaitu, komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinyu (continuence commitment) dan komitmen normatif (normative commitment). Komitmen afektif menunjukkan keterlibatan emosional seseorang pada organisasi seperti perasaan cinta pada organisasi. Komitmen kontinyu menunjukkan komitmen seseorang yang muncul karena adanya penilaian pribadi seseorang terhadap risiko ketika ia meninggalkan organsasi. Sedangkan komitmen normatif adalah komitmen yang timbul dari seseorang karena adanya dorongan nilai-nilai moral sehingga ia merasa bertanggung jawab pada organisasi yang mempekerjakannya.
Sikap dan perilaku seseorang, akan memberikan pertanda, apakah seseorang berkomitmen lemah atauah kuat dan jenis komitmrn apa yang melekat padanya. Ketika melihat perilaku teman Anda di kantor, selanjutnya Anda pun bisa menilai komitmen jenis apa yang ia miliki. Sangat dimungkinkan lebih dari satu komitmen akan dimiliki oleh seseorang, sehingga dalam rentang waktu yang bersamaan ia bisa saja mempunyai komitmen afektif namun juga normatif. Ia sangat cinta pada organisasi tempatnya bekerja namun juga mucul nilai-nilai moral yang membuatnya merasa bertanggung jawab pada organisasi.
Ambisi dan Konsistensi
Ambisi untuk memenuhi kepentingan individu akan muncul sebagai penghalang bagi seseorang untuk berkomitmen.. Akibat ambisi tersebut, seseorang tidak lagi menganggap penting sebuah komitmen. Yang ia anggap penting adalah bagaimana teknik dan cara mewujudkan ambisinya, baik dalam bungkus memenuhi kepentingan organisasi atau semata-mata kepentingan individunya. Suatu saat ia bisa terlihat seakan-akan keputusan atau perilakunya untuk kepentingan organisasi, namun ketika dikaji lebih jauh ternyata yang menonjol adalah kepentingan individu. Ada semacam misi pribadi yang terselip dalam kepentingan organisasi.
Orang yang pada awalnya terlihat menjunjung tinggi komitmen, bisa saja menjadi tak berkomitmen karena adanya kepentingan yang lebih besar. Dorongan untuk berperilaku komit dikalahkan oleh dorongan untuk memenuhi kepentingan tersebut. Maka muncul mekanisme pelemahan komitmen dalam diri seseorang. Seberapa kuat pelemahan komitmen tersebut akan tergantung dari seberapa besar nilai kepentingan tersebut. Semakin besar nilai kepentingannya semakin kuat pula mekanisme pelamahan komitmen pada diri sendiri. Hasilnya orang akan berkomitmen pada titik terendah atau bahkan menjadi tidak punya komitmen sama sekali.
Sangat dimungkinkan dalam pergaulan sehari-hari seseorang banyak berbicara tentang komitmen, meskipun sebenarnya komitmennya rendah. Dengan berbicara tentang komitmen ia berharap orang lain akan menganggapnya berkomitmen. Secara naluri, seorang individu akan senang jika dinilai positif di hadapan orang lain. Maka manajemen kesan seringkali dilakukan seseorang untuk mendapatkan kesan positif dari lingkungan sosial.. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kepada lingkungan bahwa ia berkomitmen, atau menyembunyikan perilaku tidak komit agar tidak diketahui lingkungan.
Dalam realitanya, begitu banyak praktik-praktik manajemen kesan dilakukan orang dengan bentuk yang beragam. Seorang karyawan bisa saja menunjukkan kinerjanya yang tinggi ketika diawasi oleh pemimpin, sedangkan ketika pemimpin tidak ad,a karyawan tersebut berkinerja biasa saja. Bahkan untuk mendapatkan kesan positif tersebut bisa jadi ia mengesampingkan loyalitasnya pada teman sekerja karena ada agenda pribadi yang belum tercapai, minimal adanya kesan positif dari atasannya.
Seberapa pintar orang menyembunyikan perilaku tidak komit pada akhirnya akan ketahuan juga karena komitmen biasanya akan diiringi dengan sikap konsisten dari seseorang.Tanpa adanya konsistensi, seseorang tidak bisa dikatakan berkomitmen.
Maka konsistensi menjadi tolok ukur dari komitmen. Seseorang dengan tingkat konsistensi rendah, biasanya tingkat komitmennya juga rendah. Meskipun ia menyatakan diri bahwa komitmennya tinggi, namun ketika perilakunya seringkali tidak konsisten, selanjutnya orang lain pun akan berkesimpulan bahwa komitmennya rendah. Tingkat konsistensi seseorang akan memberikan sinyal pada lngkungan seberapa kuat komitmennya. Maka menjadi hal yang kurang masuk akal ketika tingkat konsistensi seseorang rendah namun komitmennya tinggi.
Konsistensi tidak hanya menunjukkan keselarasan antara sikap dan perilaku seseorang dengan janji dan perkataan yang terlontar darinya, namun juga keselarasan antara nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dengan implementasi atas nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.. Jika terdapat gap antara nilai-nilaii dengan implementasi atas nilai-nilai tersebut artinya ia tidak konsisten dengan keyakinannya sendiri atau adanya pelanggaran atas nilai-nilai yang diyakininya.
Dalam pandangan sebagian orang, sikap konsisten membutuhkan pengorbanan karena dimungkinkan ada sumber daya yang hilang ketika ia bersikap konsisten. Misalnya, ketika ia konsisten dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, bisa jadi ia tidak akan mendapatkan keuntungan, jabatan, fasilitas dan uang atau hilangnya harapan akan diperolehnya sumber daya tersebut di masa mendatang. Namun dalam pandangan orang yang memegang teguh konsistensi dalam perilakunya, hal tersebut bukanlah sebuah pengorbanan. Baginya sikap konsisten sudah menjadi gaya hidup sehingga tidak ada kata rugi ketika ia bersikap konsisten. Konsisten dan komitmen menurutnya menjadi sikap dan perilaku ideal yang perlu diterapkan dalam lingkungan sosial.