
Surabaya — Mengambil keputusan yang tepat tidak hanya membutuhkan pengalaman, tetapi juga cara berpikir yang terarah dan menyeluruh. Pendekatan Six Thinking Hats menjadi salah satu metode efektif yang membantu seseorang melihat masalah dari berbagai perspektif. Konsep inilah yang disampaikan dalam apel pagi Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya pada Senin, 17 November 2025, yang dipimpin oleh Widyaiswara Jamal.
Dalam amanatnya, Jamal menjelaskan bahwa Six Thinking Hats merupakan metode yang dikembangkan oleh Edward de Bono untuk mengarahkan proses berpikir melalui enam sudut pandang berbeda. Ia memulai dengan topi putih, yang menekankan pemikiran objektif berdasarkan fakta dan data, sehingga setiap masalah dianalisis secara netral tanpa opini pribadi. Selanjutnya, ia menguraikan topi merah, yang memfokuskan pada perasaan dan intuisi, karena emosi—baik senang, sedih, maupun khawatir—sering menjadi bagian penting dalam memahami situasi.
Jamal kemudian menjelaskan topi hitam, yaitu pola pikir yang mengedepankan kewaspadaan dan mempertimbangkan kemungkinan risiko atau konsekuensi negatif. Di sisi lain, topi kuning mengajak seseorang melihat sisi positif, manfaat, dan peluang dari setiap persoalan. Ia juga menekankan pentingnya topi hijau sebagai ruang kreativitas dan inovasi, yang menjadi wadah untuk memunculkan ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah. Terakhir, topi biru melambangkan kebijaksanaan yang berfungsi mengatur proses berpikir, menyimpulkan gagasan, serta memastikan arah pemikiran tetap terstruktur.
Melalui pemaparan tersebut, Jamal mengajak seluruh pegawai untuk membiasakan diri mengelola persoalan dengan berbagai sudut pandang. Dengan menerapkan Six Thinking Hats dalam tugas sehari-hari, ASN BDK Surabaya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, bersikap lebih bijaksana, dan memberikan pelayanan yang semakin optimal kepada masyarakat.
Penulis: Dewi