Oleh: Aziz Fuadi
Kolektivisme dan individualisme adalah fenomena sosial yang seringkali ada dalam lingkungan kerja. Namun fenomena tersebut biasanya tak disadari oleh individu-individu yang ada di dalamnya meskipun mereka melakukannya. Selain sebagai makhluk sosial yang tak lepas dari keterlibatan dengan orang lain, manusia tercipta sebagai makhluk individu. Pada kondisi tertentu seseorang akan bersikap kolektif namun di saat yang lain ia terlihat begitu individualis.
Kedua sikap tersebut dilakukan orang karena adanya berbagai tujuan yang ada padanya. Motif untuk tetap survive, mendapat penghargaan dari orang lain, rasa aman, pengakuan dan aktualisasi diri akan muncul mengiringi sikap kolektif dan individual dari seseorang. Ketika orang membutuhkan penghargaan dari orang lain misalnya, maka ia harus memasuki sebuah kelompok atau unit sosial dengan berbagai norma sosial yang harus ia ikuti. Selanjutnya berinteraksi dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Di sisi lain, saat ia ingin mencapai aktualisasi diri, maka sikap bersaing yang cenderung bernuansa individualis akan mengiringinya.
Adanya sikap harmonis, solidaritas dan kesetiaan dari anggota terhadap kelompok menunjukkan adanya sikap kolektif pada kelompok tersebut. Namun ketika timbul egoisme dan mementingkan kepentingan sendiri bahkan terjadinya konflik interpersonal dalam kelompok membuktikan bahwa seseorang tak bisa lepas dari sikap individualis.
Sikap kolektif atau individualis yang akan ditampilkan seseorang sebenarnya tak lepas dari tuntutan sikap dan peran dari lingkungan sosial. Seorang Aparatur Sipil Negara akan mendapatkan tuntutan sikap dan peran dari lingkungan kerjanya yang berbentuk lembaga pemerintah, sedangkan seorang karyawan swasta akan mendapatkan tuntutan sikap dari perusahaannya. Pemahaman seseorang terhadap tuntutan sikap dari lingkungannya cenderung akan menentukan sikap kolektif dan individualis yang akan ditampilkan seseorang. Semakin paham seseorang terhadap tuntutan sikap tersebut, maka sikap kolektif atau individualis dari seseorang akan selaras dengan tujuan organisasi tempatnya berada.
Sayangnya tidak semua orang peka dan memahaminya sehingga memunculkan gap antara tuntutan sikap dengan sikap yang ditampilkannya. Terdapatnya sikap seseorang yang cenderung mendiskreditkan lembaga tempatnya bekerja di hadapan pihak luar menunjukkan kurang pahamnya seseorang terhadap tuntutan sikap tersebut. Biasanya sikap tersebut ditampilkan untuk membangun kesan positif orang luar terhadap dirinya secara pribadi. Ia berharap bahwa dengan mendiskreditkan lembaganya, ia akan terlihat lebih baik, cerdas atau kesan positif lainnya. Padahal ketika berhubungan dengan lembaga lain ada tuntutan untuk bersikap kolektif, yaitu solidaritas kelembagaan, bukan sebaliknya.
Nilai-nilai kolektivisme sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja. Tugas yang saling terkait antar anggota dalam kelompok kerja mengharuskan anggotanya untuk bersikap kolektif. Tanpa adanya sikap tersebut, maka anggota organisasi hanya akan peduli dengan tugas individual yang ia tangani tanpa memperhitungkan bahwa hasil kerjanya akan menjadi produk bagi rekan kerja yang berada dalam rangkaian proses kerja. Oleh karena itu, munculnya sikap kolektif akan mampu meningkatkan kinerja organisasi.
Namun, sikap kolektif juga mampu memberikan dampak buruk bagi organisasi bahkan kontraproduktif terhadap kinerja organisasi. Kondisi tersebut terjadi ketika sikap kolektif yang ada bersumber dari budaya kolektif yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Adanya persekongkolan anggota organisasi untuk mencapai tujuan kelompok yang selanjutnya menciptakan nilai-nilai kolektif dan mendominasi menjadi nilai yang berlaku pada organisasi, hal tersebut akan memberikan dampak negatif bagi organisasi.. Dalam kondisi tersebut nilai-nilai yang ada memang menjadi nilai-nilai kolektif namun tidak selaras dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku umum di masyarakat.
Jika nilai-nilai kolektif seperti itu berlaku atau menjadi nilai-nilai yang dipaksakan berlaku bagi anggota, dalam jangka panjang justeru akan memunculkan konflik antar anggota karena dimungkinkan akan muncul perlawanan terhadap nilai-nilai kolektif yang dirasa menyimpang dan tak sesuai dengan nilai-nilai universal.
Pada umumnya, nilai-nilai kolektif sejalan dengan nilai-nilai universal. Sikap membantu, tolong-menolong, kesetiakawanan, kebersamaan dan toleransi adalah contoh nilai-nilai kolektif yang sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja. Keberadaannya cenderung akan memberikan efek positif bagi anggota organisasi, terutama dalam menjaga hubungan interpersonal antar anggota. Karenanya, nilai-nilai tersebut akan memberikan efek yang nyata ketika telah menjadi nilai-nilai yang berlaku dan menjadi daya hidup organisasi atau sudah menjadi budaya dalam organisasi tersebut. Untuk itu diperlukan pemimpin yang kuat dan mampu menciptakan budaya yang ada berdasar pada nilai-nilai kolektif.
Yang bertentangan dengan nilai-nilai kolektif adalah nilai-nilai individualis. Munculnya sikap individualis dalam lingkungan kerja tak lepas dari budaya yang berlaku dan desain pekerjaan. Jika budaya yang ada cenderung mengakomodir sikap individualis dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperilaku individualis, maka anggota yang ada di dalamnya akan mengikuti budaya tersebut. Demikian juga dengan desain pekerjaan. Pekerjaan yang membutuhkan kemampuan individual dan membatasi terjadinya interaksi sosial antar anggota, maka cenderung akan menumbuhkan sikap individualis.
Biasanya seseorang dengan sikap individualis akan memfokuskan pada tujuan, kebutuhan dan keinginan yang bersifat pribadi tanpa mempedulikan kepentingan organisasi. Perilakunya dalam organisasi lebih menegedepankan pada tujuan yang bersifat pribadi, meskipun bisa jadi dalam prosesnya seakan-akan mempunyai keberpihakan pada kepentingan organisasi. Maka sikap individualis akan berbahaya bagi organisasi jika dimiliki oleh pemimpin yang mempunyai wewenang dan kekuasaan.
Seorang individualis cenderung akan menggunakan wewenang dan tanggung jawabnya demi tujuan pribadi. Adanya wewenang dan tanggung jawab justeru akan memberikan keleluasaan bagi individualis untuk merealisasikan tujuannya. Banyaknya kegiatan dalam organisasi yang melibatkan kewenangannya semakin membuat seorang individualis mudah menjalankan aksinya. Dengan dalih kepentingan organisasi, ia dimungkinkan akan menerapkan cara tertentu demi keuntungan yang bersifat pribadi. Trik, taktik dan cara-cara baru ia terapkan agar interest pribadi tak diketahui anggota lain.
Seseorang dengan perilaku indiviualis murni akan memandang sama setiap orang, artinya ia akan menempatkan standar yang sama saat berhubungan dengan orang yang dikenal maupun tidak. Tidak ada istilah pertemanan, kesetiakawanan ataupun empati saat berinteraksi dengan orang lain. Yang utama hanyalah bagaimana kepentingan dirinya bisa terwujud dan menekan sebisa mungkin adanya penghalang terhadap tujuannya. Dalam praktiknya, ia akan menganggap bahwa kepentingan orang lain dan kepentingan organisasi menjadi tidak penting dibandig kepentingan pribadinya.
Dalam mewujudkan tujuannya, seorang individualis bisa saja seakan-akan bersikap kolektif. Sikap tersebut ia ambil untuk mengaburkan atau menyembunyikan tujuan pribadi. Bisa juga sikap tersebut ia tampilkan karena bertujuan untuk bersekutu dengan orang yang mempunyai tujuan yang sama. Maka terjadilah kolabolari dari dua individualis atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Namun saat tujuannya tercapai maka kolaborasi para individualis akan bubar.
Jika seorang individualis berada dalam kelompok, ia cenderung akan mempengaruhi keputusan kelompok dalam hal pemberian rewards. Jika perannya dalam kelompok ia anggap besar maka ia akan mendukung pemberian rewards yang bersifat individual sehingga rewards tersebut akan dihitung berdasarkan kontribusi masing-masing individu. Namun jika ia menganggap bahwa peran dirinya dalam kelompok ia anggap kecil maka rewards yang bersifat kolektif akan ia dukung, artinya peran individual tidak akan dihitung, semua anggota kelompok dianggap mempunyai kontribusi yang sama sehingga rewards yang diberikan masing-masing anggota akan sama.
Seorang individualis biasanya dihubungkan dengan fenomena social loafing. Ia akan mengurangi peran dan keterlibatannya dalam kelompok karena beranggapan bahwa peran tersebut sudah diambil anggota lain. Padahal ketika bekerja sendiri ia termasuk orang yang berkinerja.
Agar nilai-nilai individualis pengaruhnya tidak melebihi nilai-nilai kolektif dan tidak mendominasi menjadi nilai yang diikuti oleh sebagian besar anggota organisasi maka perlu adanya intervensi pemimpin dengan menciptakan norma dan aturan bagi organisasi yang lebih bernuansa kolektivisme.Di samping itu, perlu komitmen bersama untuk menerapkan nilai-nilai kolektif yang dimotori oleh pemimpin dalam organisasi.